Banyak orang yang salah memahami dan menempatkan arti tawakal yang sesungguhnya. Sehingga tatkala kita mengingatkan mereka tentang pentingnya tawakal yang benar dalam kehidupan manusia, tidak jarang ada yang menanggapinya dengan ucapan: “Iya, tapi kan bukan cuma tawakal yang harus diperbaiki, usaha yang maksimal juga harus terus dilakukan!”. Ucapan di atas sepintas tidak salah, akan tetapi kalau kita amati dengan seksama, kita akan dapati bahwa ucapan tersebut menunjukkan kesalahpahaman banyak orang tentang makna dan kedudukan tawakal yang sesungguhnya. Karena ucapan di atas terkesan memisahakan antara tawakal dan usaha. Padahal, menurut penjelasan para ulama, tawakal adalah bagian dari usaha, bahkan usaha yang paling utama untuk meraih keberhasilan.
Allah akan mencukupkan keperluan orang yang bertawakal
Salah seorang ulama salaf berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu. Berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut” (Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘uluumi wal hikam). Allah Ta’ala berfirman (artinya) “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq:2-3). Artinya, barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya (Kitab Fathul Qadiir).
Maka tawakal yang benar, merupakan sebab utama berhasilnya usaha seorang hamba, baik dalam urusan dunia maupun agama. Bahkan sebab kemudahan dari Allah Ta’ala bagi hamba tersebut untuk meraih segala kebaikan dan perlindungan dari segala keburukan. Coba renungkan kemuliaan besar ini yang terungkap dalam makna sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani). Artinya, diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan lurus, diberi kecukupan dalam semua urusan dunia dan akhirat, serta dijaga dan dilindungi dari segala keburukan dan kejelekan, dari setan atau yang lainnya (Lihat kitab Fiqhul asma-il husna).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezhaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah Ta’ala maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan yang secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan kebaikan baginya (untuk menghapuskan dosa-dosanya dan untuk menundukkan nafsunya), dan gangguan (dari musuh-musuhnya) yang dihilangkan darinya” Kitab “(Bada-i’ul fawa-id).
Tidak terkecuali dalam hal ini, usaha untuk mencari rezki yang halal dan berkah. Seorang hamba yang beriman kepada Allah Ta’ala, dalam usahanya mencari rezki, tentu dia tidak hanya mentargetkan jumlah keuntungan yang besar dan berlipat ganda, tapi lebih dari itu, ia juga menginginkan keberkahan dari rezki tersebut untuk memudahkannya memanfaatkan rezki tersebut di jalan yang benar. Dan semua ini hanya bisa dicapai dengan taufik dan kemudahan dari Allah Ta’ala. Maka tentu ini semua tidak mungkin terwujud tanpa adanya tawakal yang benar dalam hati seorang hamba.
Usaha merupakan bagian dari tawakal
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal. Bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta’ala, yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim, dinyatakan shahih oleh, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani). Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala (semata). Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung” (Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab “Tuhfatul ahwadzi”).
Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari: “Barangsiapa yang mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi) iman, dan barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”. (Dinukil oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab “Hilyatul auliyaa’”). Maka berusahalah dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezki yang halal dan kebaikan-kebaikan lainnya, tapi jangan lupa untuk menyandarkan hati kita kepada Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu, bukan kepada usaha yang kita lakukan.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan rezki yang halal dan berkah bagi kita semua, serta menolong kita untuk selalu istiqamah di atas petunjuk-Nya sampai di akhir hayat kita, Amin.
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, MA.
Ziyadah
Keutamaan Menjenguk Orang Sakit
Mengunjungi dan menjenguk orang sakit merupakan kewajiban setiap muslim, terutama orang yang memiliki hubungan dengan dirinya, seperti kerabat dekat, tetangga, saudara yang senasab, sahabat dan lain sebagainya. Menjenguk orang sakit termasuk amal shalih yang paling utama yang dapat mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala, kepada ampunan, rahmat dan Surga-Nya.
Mengunjungi orang sakit merupakan perbuatan mulia, dan terdapat keutamaan yang agung, serta pahala yang sangat besar, dan merupakan salah satu hak setiap muslim terhadap muslim lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).
Terakhir, hendaknya orang yang membesuk mendoakan orang yang sakit dengan doa: Laa ba’sa tohuurun insyaa Allah (Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh) (HR. al-Bukhari).
Atau doa: Asalullahal ‘adziima Robbal ‘arsyil ‘adziimi ayyasyfiika (Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, agar menyembuhkan penyakitmu) (HR. at-Tirmidzi, dan Abu Daud, shahih)
Penulis: Ust. Fuad Hamzah Baraba, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id (dengan sedikit penyesuaian bahasa dari redaksi)